Jelang Keppres Tentang Pengaturan LSM

Written By ncwsulselbar on Rabu, 24 Agustus 2011 | 03.45

Jakarta,Saat ini ada dua versi yang muncul dalam hal mengantisipasi rencana
pemerintah tersebut. Di satu sisi kalangan aktivis LSM cenderung menolak
Keppres dengan berbagai argumentasi. Namun, disisi lain ada yang menilai
Kepres itu menunjukkan secara tak langsung pemerintah menganggap eksistensi
dan peran LSM dalam mata rantai proses pembangunan dan kenegaraan mulai
menonjol, sehingga layak diperhitungkan lalu ditertibkan operasional
kegiatannya.
Pro dan kontra pun makin merebak. Reaksi paling vkal pasti datang dari
aktivis LSM yang menganggap Kepres adalah suatu kemunduran yang sengaja
diciptakan oleh pemerintah untuk membatasi ruang gerak LSM. Caranya dengan
membuat sebuah regulasi politik yang selalu menggunakan strategi
legalistik, dengan harapan LSM mengalami kendala legal yang dengan
sendirinya mengurangi potensi kegiatannya.
Sementara pihak pemerintah merasa berkepentingan untuk mengatur
kehidupan organisasi LSM dengan sebutan lembaga kemasyarakatan (LK) yang
model pengaturannya tak jauh beda dengan pengaturan dengan sebuah
organisasi kemasyarakatan (Ormas).
Pemerintah melalui Instruksi Mendagri No 8/1990 tentang Pembinaan LSM dan Keputusan bersama Mendagri dan Mensos No 78/1993 tentang Pembinaan Organisasi Sosial/LSM.
Peraturan itulah antinya yang akan memberi kontribusi dalam Keppres.
Perubahan nama LSM menjadi LK dengan menghilangkan akta Swadaya, banyak
diprotes kalangan LSM. Hilangnya kata Swadaya jelas menunjukkan LSM tidak
lagi sebuah lembaga yang mandiri dan bebas dalam segala hal termasuk
operasional kegiatan dan dananya. Dengan konsep LK otomatis dunia LSM
tergantung sepenuhnya kepada azas legalitas yang diatur oleh pemerintah.
Pengaturan itu menurut pemerintah perlu agar LSM tidak terlibat dalam
permainan politik praktis yang dinilai bisa menghambat proses pembangunan
nasional. Tidak hanya oprasional kegiatan saja yang diatur namun juga
kerjasama dengan pihak asing dan penggalangan dana dari negara atau NGO.
Karena pemerintah menduga sejumlah LSM telah menjelek-jelekkan Indonesia
di luar negeri akibat tergantung pasokan dana dari negeri asing. Padahal,
dunia LSM menganggap keberadaan emreka sebagai mitra kerja pemerintah
sekaligus lembaga pengontrol bersama DPR.
Kalau LSM sudah dikontrol oleh lembaga yang tadinya dikontrol, lantas
siapa lagi yang bisa mengontrol pemerintah di negeri yang katanya sangat
menjunjung tinggi esensi demokrasi ini, ujar Luhut Pangaribuan, Direktur
LBH Jakarta, yang meminta ditinjau kembali rencana Keppres itu.
Ditandaskannya, justru sesuatu yang mengada-ngada bila pemerintah
menuduh LSM menjelek-jelekkan negara di luar negeri. Mana mungkin hal itu
dilakukan LSM kecuali oknumnya yang memang bisa dimamfaatkan untuk merusak
citra LSM yang dinilai pemerintah sudah keburu terlampau besar dan
diberikan peluang selama ini.
Pendapat senada juga dikatakan Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Mulyana Kusumah. Menurutnya, LSM secara
historis tidak akan pernah berwatak anti pembangunan dan tidak pula
bergerak ke arah eprubahan mendasar dalam hubungan kekuasaan, melainkan
lebih sebagai beteuk pengorganisasian kegiatan guna mencapai tujuan
pembangunan nasional melalui upaya di sektor nonnegara.
Indikasi penolakan terhadap Keppres berdasarkan pemantauan Pembaruan
terjadi tidak hanya di Jakarta tapi juga di daerah-daerah seperti
Palembang, Medan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan
lainnya telah memberikan siaran pers kepada media massa yang pada intinya
menggugat rencana Keppres apapun bentuk pelaksanaannya.
Mereka menganggap peraturan dan perundangan yang ada sudah cukup memadai
sebagai dasar hukum pengaturan berbagai jenis LSM. Keppres dianggap telah
membatasi hak warga untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat
seperti yang diamanatkan pasal 28 UUD 1945.
Peraturannya antara lain, termuat dalam kitan UU Hukum Perdata pasal
1653-1655, yang mengatur sebuah bentuk perkumpulan atau elmbaga yang
diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan UU, tidak dibatasi
operasional kegiatannya, kekuasaan pengurus dalam lembaga sangat mandiri
dan otonominya jelas dilindungi secara hukum.
Lalu dalam UU No.4/1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No 6/1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, UU No
4/1992 tentang perumahan dan pemukiman, UU No 10/1992 tentang perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, UU No 23/1992 tentang
Kesejahteraan dan UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang.
Agaknya beralasan kenapa sebuah LSM tak setuju dengan rencana Keppres
itu. Sebab, LBH Jakarta misalnya harus memberi tahu semua program dan
operasional kegiatannya kepada pembina umum yaitu Mendagri. Bisa
dibayangkan bagaimana ironisnya jika LBH dalam setiap perkara yang
ditanganinya selalu berusaha menuntaskan secara litigasi dan advokasi,
harus melaporkan proses sebuah advokasi dan litigasi kepada pemerintah,
yang misalnya menjadi lawan berpekara di pengadilan.
Pemerintah menginginkan jika masyarakat punya masalah dengan segala
dimensi aspeknya sebaiknya dilakukan melalui advokasi oleh anggota
DPR/DPRD. Namun, masyarakat yang sudah semakin kritis merasa anggota dewan
tidak lagi memeprhatikan aspirasinya. Sehingga mereka kecewa dan mencari
penyaluran aspirasi yang lain melalui aktivis organisasi LSM.
Pendampingan masyarakat oleh LSM dalam konsep advokasi pengaturannya
memang tidak diperinci secara tegas dalam Keppres. Proses advokasi yang
dimensinya tidak bersifat legal namun menyentuh aspek sosial ekonomi yang
banyak menjadi isu permasalahan sentral.
Peran tambahan inilah yang ingin ditertibkan pemerintah karena dianggap
mencampuri urusan kebijakannya. Misalnya pemerintah ingin kalau LBH
selayaknya hanya mengurus segi bantuan hukumnya saja, tak perlu advokasi
yang berkaitan dengan dimensi politis.
Dalam rencana Keppres yang sudah didiskusikan dalam konsultasi antara
pemerintah dan LSM beberapa waktu yang lalu di Cisarua, Bogor oleh Dirjen
Sospol Depdagri, tertulis apabila LSM melakukan kegiatan yang mengganggu
keamanan dan ketertiban umum dan atau menerima bantuan pihak asing tanpa
persetujuan dari pemerintah pusat dan atau memberi bantuan kepada pihak
asing yang merugikan kepentingan bangsa dapat dibekukan kepengurusannya.
Kegiatan yang dikategorikan mengganggu keamanan yaitu menyebarluaskan
permusuhan yang bersifat SARA. Lalu memecah belah persatuan dan kesatuan
bangsa, merongrong kewibawaan pemerintah, menghambat program pembangunan
dan kegiatan lain yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan.
Sebelum melakukan tindakan pembekuan terlebih dahulu dilakukan teguran
tertulis lalu pengurus dipanggil dan keputusan pembekuan dilakukan dengan
meminta saran dalam segi hukumnya dari Mahkamah Agung. Sedang, pembubaran
LSM yang dilakukan oleh peemrintah bila LSM itu mengembangkan dan
menjabarkan paham ajaran komunisme dan paham ideologi lain yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pembubaran dilakukan dengan
memperhatikan saran dan pertimbangan instansi yang berwenang.
Setelah dibubarkan LSM itu dinyatakan sebagai lembaga terlarang. Dalam
ketentuan peralihan setelah diberlakukannya Keppres setiap LSM wajib
memberikan secara tertulis kepada pemerintah sesuai domisili LSM itu,
tentang penyesuaian untuk memenuhi ketentuan Keppres. LSM yang pada waktu
yang ditetapkan tidak memberitahukan secara tertulis mengenai penyesuaian
Keppres dapat dibubarkan oleh pemerintah.
Di kalngan aktivis LSM seperti layaknya lembaga lain juga mempunyai
intrik-intrik konflik dan jaringan kerja yang terstruktur. Sehingga setiap
LSm telah mempunyai persepsi politik yang berbeda-beda sesuai dengan
jaringan kerja dan patron politisnya. Sehingga komplitlah berbagai jenis
LSM yang berdasarkan data dari Depdagri diperkirakan di Indonesia jumlahnya
lebih dari 100 organisasi LSM sampai data pertengahan tahun 1994. Sedang
data LBH Jakarta jumlah LSM di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 500
lembaga.
Tinggal sekarang pertanyaannya adalah apakah LSM akan terus konsisten
dan konsekuen dengan perjuangannya. Atau LSM hanya terperangkap dalam
penjelajahan dunia ide dan ziarah peradaban karena banyak ide dan
kegiatannya yang tak bisa sampai ke masyarakat karena tekanan akan
pentingnya stabilitas pembangunan nasional.
Tampaknya kecenderungan untuk menjalankan politik pengetatan melalui
regulasi ekstra dan intervensi kebijakan akan di cap sebagai menentang arus
demokratisasi, keterbukaan dan semangat zaman dan berpikir kritis dan
merdeka. Namun disisi lain pemerintah merasa berkepentingan untuk atas nama
stabilitas pembangunan nasional perlu regulasi LSM. Tapi yang perlu
digarisbawahi adalah jika konflik kepentingan antara pemerintah dan LSM
terus berlanjut maka kepastian hukum sebagai mekanisme penyesuaian konflik
tidak akan bekerja.

0 komentar:

Posting Komentar